Rabu, 25 Maret 2009
Transaksi Saham: Game of The Death
Dalam dunia pasar modal, kita sering mendengar beberapa istilah slank, khususnya “Bandar”. Jika anda adalah seorang investor yang sudah makan “asam garam” dunia pasar modal, maka sudah pasti bahwa anda sangat familiar sekali dengan istilah tersebut atau mungkin anda adalah salah seorang pelakunya! Namun bagi anda yang baru “terjun” ke industri ini, tentunya anda akan bertanya, apa itu Bandar? Apakah sama dengan istilah bandar bola atau bandar judi? Secara definitif dan dalam konteks ini, tentunya dalam istilah slank juga, bandar dapat didefinisikan sebagai individu atau sekelompok individu yang menjadi pemegang saham mayoritas baik untuk 1 (satu) jenis saham ataupun sejumlah saham tertentu. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa didunia manapun yang namanya bandar tidak pernah kalah! Apakah itu benar? Jawabnya : belum tentu! Kenapa? Ingat biasanya pihak bandar mempunyai konsorsium tersendiri dan setiap individu yang tergabung didalamnya pasti mempunyai kepentingan masing-masing yang tersembunyi! Biasanya pihak konsorsium telah menentukan porsi dan peranan atas masing-masing individu/broker yang telibat. Berikut ini adalah ilustrasi sederhana atas hal diatas, sebutlah kelompok konsorsium “ABC” yang terdiri atas 5 (lima) broker, yakni A, B, C, D & E. Broker A, B dan C berperan sebagai pihak pembeli dengan ketentuan pada jam dan/atau waktu tertentu serta tingkat harga pembelian berikut jumlah volumenya. Sedangkan broker C & D berperan sebagai pihak penjual. Sehingga masing-masing broker akan melakukan peran sebaik-baiknya sesuai dengan kesepakatan awal. Nah, disinilah letak permasalahannya, setiap Owner dan/atau Dealer yang akan mengeksekusi transaksi pasti telah tahu pola-pola transaksi yang akan dilakukan dan jika mereka ingin cheating, maka mereka tinggal membuka opening account di broker-broker lainnya diluar konsorsium atau menggunakan nominee untuk mengecoh konsorsium. Jadi jelas bahwa pemeo “Yang Kaya Makin Kaya”, juga berlaku di bursa! Jika anda adalah part of them, tentunya anda tidak akan melewatkan kesempatan tersebut bukan? Nah, berangkat dari hal tersebut maka muncullah sejumlah rumor ataupun berita yang tidak jelas asal-usulnya baik dari media elektronik ataupun mulut Dealer dan Analis sendiri agar “proyek” individu dan konsorsium menjadi sukses! Bahkan ada juga sebagian individu yang tergabung dalam konsorsium “ABC” tersebut membentuk atau menjalin aliansi konsorsium baru agar dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar! Jadi dengan menjadi “orang dalam” yang tahu akan segala bentuk informasi intenal, dapat dipastikan bahwa konsorsium tandingan tersebut akan menjadi OKB (Orang Kaya Baru) dan SKS (Semakin Kaya Sekali)! Jika kita memperhatikan lebih seksama, transaksi perdagangan saham sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sebuah game! Dan tentunya, setiap game ada yang menjadi winner dan looser!, masalahnya adalah siapa yang mau menjadi pihak yang kalah? Bagi yang kalah, tentunya pertandingan tersebut menjadi game of death! Dan kalau dibuat dalam bentuk joke, memang betul bahwa game of death berlaku bagi sebagian pelaku pasar dimana “ketidaktahuan” investor dimanfaatkan dan dimanipulasi sedemikian rupa oleh “pengetahuan” oknum-oknum tertentu! Contoh, sebutlah PT X, mempunyai saham yang akan listing di BEJ pada tanggal dan hari tertentu dengan harga penawaran dibawah Rp500 per saham. Jauh-jauh hari sebelum hajatan tersebut dimulai, mereka telah membentuk sindikasi dan melemparkan rumor ke pasar melalui sejumlah “kaki tangannya” bahwa harga saham PT X akan dibawa naik ke level Rp1.000 per saham bahkan jika level tersebut dapat dicapai, maka saham PT X akan “dikerek” ke level Rp2.000 per saham. Setelah rumor tersebut tersebar di kalangan para pelaku pasar ditambah lagi dengan adanya aksi dan rekomendasi accumulate buy oleh sejumlah broker-broker yang tergabung dalam konsorsium tersebut, maka para investor independen akan menjadi tertarik dan ikut berinvestasi dalam jumlah dan volume yang cukup besar. Tentunya harga saham PT X tidak akan langsung naik ke level idaman, karena terdapat beberapa faktor eksternal dan internal yang juga turut menjadi pertimbangan bandar untuk menggoreng! Jika jumlah size yang masuk kedalam perangkap telah terpenuhi, maka pihak bandar akan menjualnya sedikit demi sedikit agar realisasi return dapat segera dimulai! Dengan demikian, investor yang telah terbuai oleh mimpi sebesar Rp2.000 per saham menjadi panik dan parahnya mereka juga tidak mendapat informasi yang akurat akan kebenaran informasi tersebut! Bahkan jika mereka bertanya kepada corporate secretary PT X, maka jawaban “klise” yang sering kita dengar akan kembali dipakai, antara lain : “…wah, tidak tahu…atau…mungkin karena kondisi sosial politik, maka sentimen pasar jadi negatif, trus dampaknya ke harga saham kita…." Dengan demikian, akan banyak kambing hitam yang keluar dari mulut corporate secretary yang bersangkutan. Tentunya pada saat yang bersamaan, pihak bandar juga melakukan aksi buy back melalui sejumlah link untuk menadah saham PT X pada level-level tertentu! Terlebih-lebih jika corporate secretary tersebut bersikap ambivalen atau istilah pasarnya, do nothing! Maka kebingungan akan selalu menyelimuti kalbu pelaku pasar! Dalam konteks ini, penulis menggarisbawahi bahwa sangatlah penting bahwa keterbukaan informasi di Bursa Efek Jakarta benar-benar dilakukan secara tegas dan konsekuen, bukan hanya sekedar slogan-slogan indah yang enak didengar! Apalah arti kata-kata “good corporate governance” jika yang namanya keterbukaan informasi saja masih bisa dikangkangi oleh pihak emiten dan bandar licin yang pandai memanfaatkan celah-celah peraturan? Jangankan informasi, masih banyak lagi sejumlah pelanggaran yang kerap kali terjadi, entah dilakukan secara sadar atau tidak, tetap saja dilakukan tanpa ada perasaan bersalah. Contoh : corporate action dalam bentuk right issue, dimana disebutkan secara jelas dalam prospektus emiten bahwa tujuan dari right issue adalah menghimpun dana untuk mengakuisisi anak perusahaan agar menjadi integrated company. Bagi penulis pribadi, hal tersebut tidaklah wajar! Tentunya dalam hal ini harus dilihat dulu case by case! Secara umum, jika anak perusahaan yang akan diakuisisi tersebut dimiliki oleh sejumlah individu yang juga bercokol di holding company apalagi kalau mereka adalah single majority, maka hal tersebut tentu menjadi tanda tanya! Jika ingin membuat suatu integrated company, maka menurut hemat penulis yang harus dibenahi adalah sistem dan prosedurnya! Kenapa begitu? Jawabnya mudah, karena “Yang Punya Perusahaan” adalah orang yang sama! Kalau sudah begini, maka indikasi yang dapat ditangkap adalah oknum-oknum tersebut ingin “nyolong duit” dengan menggunakan teknik-teknik financial engineering yang lihai! Apalagi jika dalam prospektus juga disebutkan bahwa holding company akan memberikan loan dengan interest rate sebesar 1%-2% diatas harga pasar agar anak perusahaan dapat mempunyai working capital yang cukup! Apakah hal tersebut dapat dibenarkan? Tentunya untuk dapat menyukseskan “hajatan”tersebut, pihak emiten melalui konsorsiumnya perlu “korban-korban” baru, caranya? Gampang saja, tinggal goreng-menggoreng sahamnya dan kalau perlu buat informasi yang bias dan tidak jelas, misalnya cum-right atau segala tetek bengeknya, yang penting investor “terjebak” dan mau enggak mau harus merealisasikan “kewajibannya” bukan “haknya”! Tentunya “ilmu goreng-menggoreng” tersebut tidak hanya terbatas pada hal diatas, seringkali permainan deviden juga menjadi bagian dari ilmu tersebut, contoh : sebutlah PT A, yang mempunyai saham yang listing di BEJ dengan harga pasar sebesar Rp400 per saham dan berencana akan menggelar RUPSLB & RUPST pada tanggal dan bulan tertentu. Jauh-jauh hari sebelum acara tersebut dimulai, mereka telah melemparkan rumor ke pasar melalui sejumlah media massa dan broker-broker pilihan bahwa harga saham PT A akan dibawa terbang ke level Rp500-Rp600 per saham dengan memanfaatkan rumor bahwa mereka akan membagikan deviden tunai sebesar Rp100 per saham untuk tahun buku sebelumnya. Setelah rumor tersebut tersebar di kalangan para pelaku pasar ditambah lagi dengan adanya aksi accumulate buy oleh sejumlah broker-broker yang tergabung dalam sindikasi, maka para investor independen akan menjadi tertarik dan ikut berinvestasi dalam jumlah dan volume yang cukup besar. Akibatnya sudah dapat diduga, mereka yang bermain tersebut akan masuk dalam perangkap! Biasanya menjelang hari “H” acara, aksi spekulasi semakin bertambah, begitu hasil pengumuman selesai bahwa memang benar perusahaan akan membayar deviden tunai sebesar Rp100 per saham, maka harga saham PT X langsung anjlok! Mengapa hal ini bisa terjadi? Ceritanya begini, pihak bandar pasti telah menghitung berapa besar porsi pembagian deviden yang akan dialokasikan untuk “pemegang saham pribadi” dan “pemegang saham beneran”. Dengan demikian, jika porsi “pemegang saham beneran” melampaui ketentuan mereka, maka saham PT A akan “diguyur” dan tentunya para investor akan mengalami panic selling apalgi jika harga saham “dibuang” hingga ke level Rp300-Rp200 per saham dan sudah pasti deviden yield yang ditawarkan sudah tidak menarik lagi karena terdapat suatu ketakutan bagi para investor bahwa nilai jual kembali atas saham PT A menjadi tidak karuan!. Ada lagi yang lebih lucu, yakni pengangkatan Komisaris Independen, bagaimana mungkin seseorang yang identik dengan “Roh Perusahaan” tersebut dapat diangkat menjadi Komisaris Independen, bahkan ada juga posisi yang nyata-nyata diembeli dengan kata “Independen” tersebut dirangkap oleh Dewan Direksi! Bagaimana mau Independen, kalau yang bayar gaji Komisaris Independen masih tergantung dari perusahaan? Kejadian-kejadian yang lucu di pasar sekunder tersebut juga kerap kali terjadi di pasar perdana atau detik-detik menjelang go public-nya suatu perusahaan. Contoh, sebutlah PT A akan mencatatkan sahamnya di BEJ pada harga dan jumlah tertentu. Namun sebelum Initial Public Offering (“IPO”), tentunya calon emiten dan Lead Underwriter akan berusaha menyukseskan pesta tersebut. Dari pihak emiten, sudah pasti bahwa mereka hanya perlu duit, entah untuk masuk kantong pribadi ataupun kas perusahaan! Sedangkan Lead Underwriter hanya perlu success fee dan sahamnya laku terjual, karena kalau tidak mereka harus menanggung resiko untuk full commitment!, walaupun sesungguhnya, dalam praktek lapangannya “kedua kata” tersebut hanya sebagai “pajangan belaka” dan biasanya mereka sudah mempunyai “perjanjian bawah tangan lainnya” dengan pihak-pihak terkait, termasuk si emiten sendiri!. Yang paling mengkhawatirkan, jika calon emiten tersebut melakukan IPO dengan kondisi dimana seluruh saham yang akan diperdagangkan “diserap” oleh investor strategik, sehingga Sub Underwriter hanya mendapat porsi penjamin sedikit atau bahkan tidak mendapat porsi sama sekali, namun namanya muncul sebagai salah satu anggota sindikasi penjamin. Bayangkan jika saham yang ditawarkan ke publik berjumlah 70.000.000-200.000.000 lembar saham, namun setiap 1 (satu) Sub Underwriter hanya memperoleh jatah 50.000-100.000 lembar saham bahkan tidak jarang pula saham tersebut hanya “numpang lewat” disejumlah broker, apa ini yang namanya fair trade? lucu bukan? Lebih lucu lagi jika terdapat berita disejumlah media massa dan elektronik bahwa saham emiten tersebut mengalami oversubscribed! Atau over demand! Dengan asumsi, jika jumlah saham yang ditawarkan berjumlah 100.000.000 lembar saham dan anggota sindikasi berjumlah 10 broker, dimana masing-masing broker tersebut memperoleh jatah sebesar 100.000 lembar saham, maka secara totalitas jumlah saham yang beredar dikalangan broker hanya berjumlah 1.000.000 lembar saham atau ekuivalen dengan 1% saja! Apa artinya? Artinya, mayoritas saham emiten tersebut berada ditangan Lead Underwriter atau bahkan strategic investor yang telah melakukan transaksi “pembelian bawah tangan” atau “perjanjian bawah tangan” sebelum IPO, misalnya private placement!. Dengan demikian, Lead Underwriter akan lebih leluasa untuk “menggoreng” saham, dengan demikian dapat dipastikan pula bahwa baik emiten ataupun pihak-pihak terkait akan dapat memperoleh untung 3X; pertama, dapat fresh money dan/atau success fee dari bursa dan/atau emiten; kedua, nama terkenal dan terakhir malah dapat memperoleh “barang” kembali. Untuk poin yang terakhir, tentunya anda akan bertanya bagaimana caranya? Gampang saja, ingat mayoritas “barang” ada ditangan bandar, jika harga penawaran saham sebesar Rp100 per lembar saham dan dibuka pada harga perdagangan sebesar Rp300 per lembar saham, kemudian “digoreng” secara atraktif hingga ke level Rp500 per lembar saham dan akhirnya “dibanting” kembali ke level Rp100 per lembar saham atau bahkan free fall ke level Rp50-Rp40 per lembar saham, bayangkan berapa banyak investor yang “terjebak” dan mengambil posisi cut loss? Jika ada investor lugu yang mencoba untuk ambil posisi dalam jumlah yang besar di pasar sekunder, maka kemungkinan besar akan menjadi bagian dari game of death! Tentunya tidak fair juga jika kita selalu menyoroti pihak bandar, emiten atau Underwriter seakan-akan “menghukum” mereka sebagai pihak tersangka kriminal! Sejujurnya, jika tidak ada aksi “goreng-menggoreng”, dapat dipastikan bahwa transaksi perdagangan di BEJ akan sangat sepi, akibatnya kerugian yang diderita oleh BEJ juga akan semakin bertambah! Tentunya hal tersebut juga menjadi buah simalakama! Dalam hal ini, penulis menggarisbawahi bahwa setiap pihak yang terlibat dalam transaksi perdagangan harus bertanggungjawab atas setiap keputusan yang diambil dengan catatan : bahwa hal tersebut dilakukan secara fair!. Pihak investor/calon investor sendiri harus dapat mempertanggungjawabkan sendiri atas setiap keputusan investasi yang diambilnya. Seringkali para investor tidak mau berusaha untuk mencari informasi yang benar atau melakukan sedikit analisa dalam pengambilan posisi trading. Akibatnya banyak pula Dealer ataupun Analis yang menjadi “sasaran tembak” atas ketidaktahuan investor yang bersangkutan. Contoh nyata sudah dapat dilihat dari sejumlah kasus, seperti kasus saham FISK, INKP, TKIM, BBCA, HMSP dan lain-lain. Selain itu, broker-broker ataupun pihak-pihak terkait lainnya tidak seharusnya membuat berita-berita bohong dan menyebarkan gosip-gosip yang tidak bertanggung jawab! Tidak lupa pula, untuk pihak pengelola atau pengawas bursa yang seharusnya lebih berperan sebagai “pihak berwajib” atas sejumlah kasus-kasus pelanggaran yang tidak jelas arah penyelesaiannya. Secara pribadi, penulis pernah mengalami kasus saham BNII, dimana pada waktu itu, isu bahwa saham BNII akan delisting sangat santer karena terdapat bunyi dari salah satu pasal peraturan bahwa…. jika selama 3 bulan berturut-turut harga saham dibawah Rp50 per saham, maka saham tersebut akan terkena delisting. Dengan melakukan penyamaran sebagai seorang investor dan sesekali mengaku sebagai seorang Analis, maka penulis mencoba melakukan kontak via telepon untuk menanyakan apakah peraturan tersebut akan diterapkan secara tegas terhadap saham BNII, namun sungguh mengherankan bahwa setiap pertanyaan yang masuk, telepon selalu “dilempar kesana kemari”, kalaupun “masuk”, jawaban yang diterima kerap tidak simpatik dan bahkan cenderung kasar bagi seorang yang mengaku profesional dan bekerja di instansi terkenal! Bahkan ada juga petugas yang sangat lugu dan malah balik bertanya :…”Bapak tahu darimana peraturan itu….”? “…..bapak baca dimana….”?….koq kita enggak tahu?…. “ Tentunya hal tersebut hanya sebagian kecil dari sejumlah permasalahan ataupun unek-unek para pelaku pasar. Penulis sangat yakin, jika penegakan hukum di bursa dilakukan secara tegas dan transparan serta didukung oleh tenaga-tenaga yang berkualitas, maka para investor asing dan lokal akan kembali melakukan transaksi perdagangan walaupun kondisi ekonomi kita cukup terpuruk! Kenapa bisa begitu? Dengan adanya suatu komitmen, maka para investor tersebut akan merasa nyaman, karena kepentingan investor, khususnya investor minoritas terlindungi! Sebenarnya masih banyak sekali kejadian-kejadian lucu dan menggemaskan yang terjadi dibursa, bahkan kalau diceritakan dan ditulis secara gamblang dan detail akan dapat menyangi ketebalan holly book! Sudah sepantasnya jika rule of game ditegakkan secara tegas dan konsekuen tanpa pandang bulu serta dilaksanakan oleh para pelaku pasar dan pihak-pihak terkait. Sehingga Bursa Efek Jakarta tidak menjadi Game of Death bagi sebagian investor! Sebagai catatan akhir, penulis sendiri tidak bertendensi untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam penulisan artikel ini, artikel ini lebih ditujukan untuk menggugah hati nurani dari para pelaku pasar terkait agar dapat bermain lebih fair demi perkembangan pasar modal Indonesia. Besar harapan penulis, agar IHSG dapat kembali rebound ke level 500-700 atau bahkan ke level 1.000!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar